Advertisement With Us

Radhar Bagian 2

 


R A D H A R 

(Jakarta, 26 Maret 1965 - Jakarta, 22 April 2021)

Bagian 2

Oleh Nooca Massardi

Setelah beberapa kali berkesempatan jumpa, akhirnya saya bisa berkenalan juga dengan Reza si anak kecil itu. Mungkin karena dia yang memperkenalkan diri, atau saya yang “kepo” ingin tahu apa gerangan yang selalu dilakukan anak kecil itu di kantor Redaksi “Kompas” - koran yang terbesar dan paling berpengaruh di Republik Indonesia. Reza mengaku bahwa saat itu dia masih dalam status bersekolah, entah di SMP entah di SMA dan entah di mana, mungkin saya lupa, atau mungkin juga saya tidak (ingin) menanyakan, atau memang dia sendiri tidak pernah menjelaskan karena baginya sekolah itu tidak penting. Entahlah. 

“Tapi saya enggak mau masuk sekolah lagi, karena mulai dari guru, walikelas, sampai kepala sekolahnya g o b l o k semua: mereka enggak ngerti sejarah, enggak ngerti sastra, enggak ngerti teater, enggak ngerti kesenian, enggak ngerti Bahasa Indonesia yang baik dan benar, enggak ngerti kebudayaan, apalagi filsafat...!” katanya dengan lancar, santai dan tegas. 

Saya hanya terpana. Sejenak. Ini anak, dari kecil sudah jadi pemberontak, kalau gede bakal jadi apa? Kata saya membatin.

“Terus, orangtuamu tahu, kalau kamu enggak pernah masuk sekolah?”

“Ya enggak tahu. Mereka tahunya saya pergi dari rumah untuk sekolah”

“Terus kamu ke mana aja?”

“Ya ke mana-mana, tiap hari keluyuran, ke sawah, ke kebun, ke kali, ke kampung-kampung, sampai ke Bulungan dan ke kantor-kantor redaksi koran dan majalah, termasuk ke Kompas-Gramedia ini.”

“Ngapain?”

“Ngantar tulisan, artikel, cerpen, puisi, termasuk kalau diminta menulis berita kecil-kecil seperti di harian ‘Kompas’ barusan ini,” katanya.

“Terus, honornya untuk apa?”

“Untuk beli buku, untuk makan, minum, ngopi, dan keluyuran lagi....!” katanya sambil tertawa ngakak.  

Reza ternyata tahu dan mengenal saya sebagai pegiat sastra dan teater di GRJS Bulungan. Lalu dia pun bercerita bahwa saat itu dia juga "melakukan hal yang serupa dan dilakukan di tempat yang sama dengan saya: bersastra dan berteater" di GRJS Bulungan. Maka percakapan pun berlanjut, sambil ngopi, sambil makan, sambil jalan, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, bahkan belasan dan puluhan tahun kemudian. Dari 1982 sampai dengan 2021. temu muka atau melalui telepon atau lewat pesan singkat dan whatsapp. Tanpa kenal waktu. Pagi, siang, sore, malam, dan tengah malam. Dari warung, cafe, resto, hotel, TIM, Bulungan, rumah, bahkan kantor lagi.

Hampir enam tahun meninggalkan Jakarta, tentu saya kehilangan banyak kontak dan  informasi tentang kegiatan sastra dan teater, baik di TIM maupun di Bulungan. Melalui Reza saya seolah diingatkan kembali dan mulai mengumpulkan lagi bagian-bagian puzzle yang lama hilang itu. Reza kemudian mengajak saya untuk sekali-sekala mampir ke Bulungan. Karena, walau jaraknya tidak jauh, saya tinggal di rumah mertua indah, di Jalan Bank, Prapanca, Kemang, Jakarta Selatan, rasanya tak ada lagi daya tarik saya untuk datang ke Bulungan atau ke TIM. Kedua tempat itu sudah kehilangan pamornya, gregetnya, nyawanya. Toh, akhirnya saya datang juga.

Kenangan memang selalu lebih indah dari kenyataan. Saya melihat seluruh kompleks GRJS Bulungan yang dulu rasanya selalu meriah dan bergairah, tampak kumuh, gersang dan semerawut. Dua kolam ikan di pelataran depan sudah ditutup beton. Di sekeliling pagar hanya ada warung dan warung. Di promenade bagian dalam juga demikian. Tidak ada lagi jejak kolam dan taman. Bahkan tidak ada lagi lapangan atau taman rumputan yang dulu hijau. Semua sudah diisi pelbagai bangunan semi permanen. Dan, ternyata itu sudah bukan milik GRJS lagi. Sudah dikuasai pihak lain, entah membayar sewa entah gratisan. Sungguh mengenaskan. Di mana lagi ruang terbuka untuk anak-anak remaja berlatih dan berkesenian?

Saat itu, di teras bangunan tengah, tampak ada beberapa kelompok anak muda, seumuran Reza, yang sedang berlatih. Ternyata latihan teater. Saya pun berkenalan dengan Agung Setiaji Arya Dipayana (AGS), dan seorang gadis lincah hitam manis bernama Neno Warisman, dari Teater Tetas. Begitu mengetahui nama saya, AGS dan Neno pun tampak antusias dan mencoba berbahasa Perancis. Mereka mengaku kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Perancis. Semakin senja, mulai berdatangan beberapa remaja dan pemuda dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang mengenali saya, banyak pula yang tidak, tentu saja. Kenangan saya pun kembali ke tahun dan bulan-bulan terakhir sebelum saya meninggalkan gelanggang, yang sungguh-sungguh telah melambungkan nama banyak remaja, dan membawa serta citra Bulungan yang mengagumkan.

GRJS Bulungan diresmikan pada Kamis, 16 April 1970 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. GRJS yang desainnya kabarnya dirancang oleh salah seorang personel Trio Bimbo, adalah pilot project untuk gelanggang remaja yang akan segera dibangun di wilayah lain: Utara, Barat, Timur dan Pusat. Sebagai yang pertama dan menjadi teladan, GRJS telah menunjukkan hasilnya yang terbaik.

Sebelum Lisendra Buana (Tjok Hendro, Dharnoto, dan saya) berkiprah di sana awal 1972, sesungguhnya di Bulungan sudah ada pionir pembentuk kelompok teater, yang bernama Teater Gelanggang. Pemimpinnya adalah mantan aktor Bengkel Teater Jogja pimpinan WS Rendra (7 November 1935 - 6 Agustus 2009), yakni Niki Kosasih (alm) dan beberapa kawannya. Setelah keluar dari Bulungan, Niki yang selama di Bengkel Teater belajar acting menulis lakon kepada Rendra, kemudian menulis sandiwara radio yang kemudian fenomenal pada era 1980-an dan diproduksi Sanggar Prativi: "Saur Sepuh" dan serial berikutnya. Tokoh Brama Kumbara pun “viral” di radio-radio seindonesia. 

Ditandem oleh Lisendra, Teater Gelanggang kemudian berganti nama menjadi Teater Bulungan dipimpin Uki Bayu Sejati. Setelah beberapa kali pentas, kegiatan teater pun mulai diminati banyak remaja dan pelajar. Terutama murid SMP dan SMA di sekitar Bulungan. Karena Lisendra melalui Tjok Hendro punya link khusus dengan Bengkel Teater Jogja (BTJ), melalui latihan bersama di Jakarta maupun di Jogja, maka bersama Lisendra, Teater Bulungan pun ikut “terafiliasi” ke BTJ. Bahkan, dua orang aktris Teater Bulungan Wita Yudharwita, dan Tari Lestari kemudian berjodoh dan menikah dengan dua aktor BTJ: Dahlan Rebo Pahing dan Edy. 

Ketika Lisendra-GRJS menyelenggarakan Festival Teater Remaja, sejumlah sekolah dan komunitas di Jakarta Selatan pun membentuk kelompok teaternya masing-masing dan mendaftar sebagai peserta. Tercatat ada lebih dari 30 grup yang berdiri dan mendaftar dalam tempo singkat. Salah satu grup teater dari komunitas adalah Teater Arena Cula, yang bermarkas di Gereja Santa, Blok S, Kebayoran Baru, pimpinan Frans Totok ARS dari Sanggar Prativi. Dari kelompok inilah kemudian lahir, antara lain, Ingrid Widjanarko dan Markus Prasetya (Kepra). 

Setelah gagasan Festival Teater Remaja (FTR) “diakuisisi” oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan sistem kompetisi penuh untuk melahirkan kelompok teater modern yang profesional, di luar Bengkel Teater Jogja (Rendra), Teater Ketjil (Arifin C. Noer) dan Teater Populer (Teguh Karya), untuk mengisi acara teater di TIM, maka beberapa kelompok teater pun lahir dan berlatih di Bulungan. Mereka wajib mengikuti babak penyisihan FTR-DKJ untuk wilayah Jakarta Selatan.

SMA Negeri XI membentuk Teater Sebbul (Sebelas Bulungan), yang anggotanya tentu saja murid SMAN XI: Tubagus Djodi Rawayan Antawidjaja, Saraswati Sunindyo, Etty Purnamawati, dan Genitri Sunindyo. Untuk melepaskan diri dari citra “teater sekolahan” Teater Sebbul pun berganti nama menjadi Teater Gombong, yang para anggotanya kemudian didominasi remaja pelajar sekitar GRJS: SMA XI, SMA VI, SMA IX, SMA PSKD. Mereka  adalah Tubagus Djodi RA, Toto Prawoto, Ferry Fadly (kelak menjadi pemeran film “Saur Sepuh,” sebagai Brama Kumbara) Tutty Delon, (SMA PSKD), Sulistyo Nugroho, Khayat Ibrahim, Titie Puspoyudo,  Wiwiek Shabri, Rd. Nanoe Anka, dan Neno Warisman. Ada dua murid dari SMP Negeri 68 yang kemudian dibawa masuk ke Teater Gombong oleh Nanoe Anka. Mereka adalah Radhar Panca Dahana (RPD) dan Agung Setiaji Arya Dipayana (AGS).

Untuk bisa mendominasi Festival Teater Remaja (FTR) saat itu, Teater Gombong pun menciptakan Teater Gom Aquila yang menjadi Teater Aquila (pimpinan Toto Prawoto), Teater Egg yang menjadi Teater Tetas (AGS Arya Dipayana) dan Teater Keung yang menjadi Teater Kosong (Radhar Panca Dahana). Selama mengikuti FTR-DKJ, Teater Aquila kelak terpilih menjadi grup teater senior setelah memenangi FTR tiga kali berturut-turut. Sedangkan Teater Tetas dan Teater Kosong, tidak mau lagi ikut FTR, dan hanya mau pementasan atas biaya sendiri, alias tidak mau menerima subsidi dari DKJ melalui ajang FTR.

Dibanding puluhan grup teater remaja lain, khususnya di Jakarta Selatan, yang kebanyakan anggotanya adalah anak remaja bebas dan mantan anak sekolahan, ada fenomena khusus yang terjadi pada Teater Bulungan dan Tetar Gombong. 

Teater Bulungan dipimpin Uki Bayu Sejati dari FISIP-UI. Dua anak buahnya, Bambang Hertanto, dan Tino Saroengallo masuk ke FSUI Jurusan Sinologi. Teater Gombong dipimpin Tubagus Jody yang kemudian masuk FHUI dan STAN, dengan anggotanya Titie Puspoyudo, yang masuk FTUI, dan kemudian menikah dengan Asdosnya: Hermanto Dardak, Khayat Ibrahim (FHUI), AGS Arya Dipayana dan Neno Warisman (FSUI), dan Radhar Panca Dahana (FISIP UI). Ada satu perempuan Jerman yang pernah ikut Teater Gombong, yakni Patricia Handono, yang kelak melahirkan aktor film/sinetron sangat berbakat: Adipati Dolken. 

Radhar Panca Dahana membacakan puisinya khusus sebagai hadiah untuk ulangtahun Noorca yang ke 36,  28 Februari 1990. [Facebook/Noorca Massardi]


Sebelum saya ke Paris, Teater Gombong juga pernah mementaskan lakon “Belenggu Promotheus” dengan sutradara Tubagus Djodi dengan salah satu aktornya adalah Yudhistira ANM Massardi. Masih dalam rangka FTR-DKJ, Yudhistira dan Adri Darmadji Woko pun mendirikan Teater Panuluh, dan membawakan lakon wajib karya saya “Perjalanan Kehilangan,” karena pernah memenangi Lomba Lakon DKJ. 

Sementara itu, Lisendra Buana terpaksa disutradarai Dharnoto, dan bukan oleh saya, karena saya harus fokus menyutradarai Teater Tujuh, kelompok baru yang kami latih rutin sebagai ekstra kurikuler pasca Peristiwa Malari 1974, dan kami bentuk, dengan anggota sepenuhnya  murid SMAN VII, Gambir. Teater Tujuh yang mewakili wilayah Jakarta Pusat, saat itu mementaskan lakon wajib “Dag Dig Dug” karya Putu Wijaya, dengan  salah seorang pemain utama bernama Rayni (sebelum kelak bernama lengkap Rayni N. Massardi. Hehehe...).  (BERSAMBUNG)

SUMBER: https://www.facebook.com/noorca/posts/10225481206765233. Dimuat ulang atas izin penulisnya.

Bagikan:

Posting Komentar