Advertisement With Us

Radhar Bagian 3



R A D H A R  

(Jakarta, 26 Maret 1965 - Jakarta, 22 April 2021)
Bagian 3

Oleh Noorca Massardi

Profesi penulis lepas untuk kategori berita, nyaris tidak ada di media massa yang sudah menjadi industri. Istilah “stringer” hanya dikenal untuk koresponden paruh waktu (part-timer) yang ditunjuk sebagai perwakilan media untuk melakukan peliputan berita di wilayah yang tidak terwakili oleh Koresponden, dengan perikatan honorarium standar, dan tambahan bonus bila hasil liputannya dinyatakan eksklusif. Dengan demikian, status “stringer” sangat berbeda dengan “Koresponden” yang bergaji tetap dan resmi sebagai perwakilan tetap lembaga pers di wilayah tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri.

Privilese yang diberikan “Kompas” kepada Reza Morta Vileni, sebagai remaja sekolahan yang dinilai berbakat, untuk menulis berita, walaupun rerata berupa kronik satu kolom X 10 cm, tentu saja merupakan kekecualian. Kalau bukan karena permintaan redaktur yang berposisi istimewa, pasti tugas itu tidak akan pernah diberikan kepada orang luar, termasuk Reza. Apalagi untuk bisa menjadi pewarta di harian “Kompas” minimal harus lulusan S1, dan diseleksi melalui sejumlah tahapan test yang tidak mudah. Terbukti, untuk setiap gelombang rekrutmen baru, dari ribuan peseta, hanya terpilih rerata 6 orang reporter baru.

Tak aneh bila kemudian Reza tidak bisa terlalu lama menikmati keistimewaan yang diberikan kepadanya itu, walaupun dia terbukti mampu menulis dengan baik dan sangat produktif — suatu hal yang justru kelak menjadi masalah — sebagaimana kemudian dipertanyakan di kalangan redaksi. Gugatan internal terhadap posisi Reza, itu tidak hanya bersifat rasional struktural dan normatif, tetapi bahkan dan saya kira terutama, lebih didasarkan pada pertimbangan emosional.

Dapatlah dibayangkan, seorang pewarta pemula lulusan S1 yang baru diangkat pada 1982, mendapatkan gaji bulanan katakanlah sekitar Rp 180 ribu, atau setara US$ 180 saat itu. Sementara Reza yang sangat produktif menulis kronik kecil-kecil hampir untuk semua rubrik, setiap bulan bisa menghasilkan 15 - 30 kronik yang dimuat. Bila untuk setiap kronik ia dibayar sekurang-kurangnya Rp 10 ribu, maka dalam satu bulan Reza bisa menghasilkan antara Rp 150 ribu - Rp 300 ribu. Jumlah yang sangat fantastis, yang bahkan bisa melampaui gaji bulanan seorang redaktur!

Maka, hanya dalam tempo beberapa bulan, ihwal penghasilan Reza itu pun langsung menjadi bahan pergunjingan di kalangan redaksi. Bukan karena kualitas dan produktivitasnya semata, tapi lebih-lebih karena jumlah honorariumnya yang dinilai terlampau besar, untuk seorang “anak sekolahan” berumur belasan tahun, yang bisa bebas menulis di koran sebesar Kompas, tanpa test sama sekali. Akibatnya, “karir” Reza sebagai penulis kronik di harian pagi terbesar itu pun harus segera berakhir. Dan tak satu pun petinggi “Kompas” yang pada dasarnya sangat menghargai “kecerdasan” Reza, yang bisa menolak argumen kalangan redaksi yang menentang posisi dan keberadaan Reza yang terlampau diistimewakan Tanpa landasan profesi itu.

Saya pribadi, di satu sisi sangat memahami keberatan kalangan redaksi terhadap eksistensi Reza yang dinilai mengganggu sistem yang sudah mapan. Di sisi lain, sebagaimana para petinggi yang semula memberikan kesempatan kepada Reza, saya juga tidak bisa membelanya. Saya hanya merasa prihatin. Terutama karena Reza tiba-tiba harus kehilangan penghasilan yang sempat membuatnya terlena, sehingga ia bahkan merasa tidak lagi memerlukan ijazah sekolah.

“Jangan kecil hati. Syukuri saja apa yang sudah pernah kamu terima. Untuk sementara, lupakan untuk menulis kronik di “Kompas.” Lebih baik kamu selesaikan sekolahmu dulu. Kamu kan bisa tetap menulis prosa dan puisi. Atau menulis lakon. Betapa pun, untuk masa depanmu, suka atau tidak, minimal kamu harus punya ijazah SMA. Dan, kalau kamu butuh bantuan, kasih tahu aku. Insyaallah aku akan membantu semampuku. Tapi, kalau kamu tetap enggak mau menyelesaikan sekolahmu, aku enggak mau berteman lagi, dan aku juga enggak akan mau membantumu dalam hal apa pun,” kata saya sungguh-sungguh.

“Baik, Mas,” kata Reza, datar. Tidak Tampak antusias, tapi tidak juga putus asa. Bahkan ia cenderung memaklumi.

“Kabari aku dan temui aku, kalau kamu sudah membawa ijazah SMA-mu, ya!” kata saya sambil menepuk pundaknya.

Dan, Reza pun untuk sementara, kemudian menghilang dari pergaulan. Dia tidak pernah berkabar,. Apalagi pada masa itu belum ada komputer, jangan pula media sosial. Dan, begitu Reza menghilang, saya pun sudah nyaris melupakannya. Sesekali memang sempat terdengar atau terbaca kabar kalau Reza makin aktif di Bulungan dan karya-karya tulisnya tersebar di sejumlah media.

Noorca, Radhar, dan [Facebook/Noorca Massardi]


Hampir dua tahun bekerja di Desk Luar Negeri, tugas saya antara lain memantau berita luar negeri paling aktual, dan memeriksa aliran kertas mesin teleks dari beberapa kantor berita asing, menyobek dan memilahnya, lalu merangkum dań menerjemahkannya ke dałam bahasa Indonesia. Bila pewarta di desk lain rerata hanya mampu menulis satu atau dua items berita, kami yang di desk luar negeri bisa menurunkan tiga sampai empat items setiap hari. Sementara jam kerjanya juga lebih fleksibel dibanding pewarta lain, karena umumnya kami mulai masuk kantor dari tengah hari sampai malam. Sehingga saya masih bisa melakukan kegiatan lain pada pagi sampai siang. Dan, minat saya pada sastra, teater, dan film, tetap tersalurkan dengan membuat liputan, artikel opini, atau resensi atas inisiatif pribadi, yang umumnya selalu diterima baik oleh Kepala Desk Kebudayaan Mas Kristanto JB (xjb) saat itu. Apalagi, Mas Kris lah yang pertama kali meloloskan novel saya “Sekuntum Duri” yang saya tulis semasih tinggal di Paris, untuk dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas pada 1978, sebelum diterbitkan oleh PT Gramedia, dan kemudian difilmkan dengan sutradara Bobby Sandy. 

Cerita bersambung di Harian Kompas tentu saja merupakan rubrik paling populer dan paling banyak dibaca, serta punya kelas tersendiri di kalangan pembaca dan pengarang Indonesia. Rubrik cerbung itu sekaligus dianggap sebagai wadah “penobatan dan pengakuan” atas kemampuan dan predikat seseorang sebagai pengarang atau novelis. Sebagaimana dengan banyak novelis lain yang cerbungnya pernah dimuat di Harian Kompas: Marga T, V. Lestari, Kuntowijoyo, YB Mangunwijaya, Ashadi Siregar, dan lain-lain. Dan, sepulang dari Paris, pada akhir 1981, saya menyerahkan novel kedua saya yang juga saya tulis di Paris, kepada Mas Kris JB. 

“Oya, Mas. Apakah saya boleh ikut melamar iklan Kompas yang sedang mencari reporter baru?” kata saya.

Mas Kris terkejut sesaat. “Lo, bukannya kamu di Tempo?”

“Memang. Tapi saya kan hanya koresponden waktu di Paris. Lagian di Tempo sudah ada Yudhistira. Nanti kisruh kalau ada orang kembar di kantor yang sama. Terlebih, walau saya sudah membuat “scoop” dengan mewawancarai Ayatullah Khomeini, Pangeran Norodom Sihanouk, dan Mantan Presiden Iran Bani Sadr, sebagai cover story, “bahasa tubuh” teman-teman di Tempo tidak ada yang antusias menyambut saya untuk bergabung dengan mereka,” kata saya.

“Kalau begitu melamar saja, kamu pasti diterima. Saya juga perlu reporter kebudayaan, karena reporter kebudayaan itu makhluk langka. Selama ini, dari puluhan reporter baru, tidak pernah ada yang berminat meliput urusan kebudayaan,” kata Mas Kris sambil tertawa.

Maka begitulah, selama saya mengikuti proses seleksi untuk menjadi pewarta Kompas, novel kedua saya “Mereka Berdua” pun terbit setiap hari sebagai cerbung di Harian Kompas, sampai saya diangkat resmi sebagai karyawan tetap Kelompok Kompas Gramedia (KKG) pada 1 Februari 1982.

Selain menulis pelbagai berita dan masalah luar negeri dan meliput ihwal kesenian dan kebudayaan, khususnya sastra, teater dan sesekali film, pada 1983 saya sempat dikirim ke perbatasan Kamboja-Thailand, untuk meliput situasi pasca perang saudara di Kamboja. Juga, meliput perjalanan mudik  Lebaran keluarga transmigran asal Jawa dari Lampung ke Jawa Timur, melalui perjalanan darat dengan bus antarpulau yang padat dan melelahkan, selama tiga hari dua malam. Dan, kedua liputan bersambung di pojok kanan bawah halaman satu Kompas, itu ternyata kemudian mendapat pujian langsung dari Pak Jakob Oetama:
“Lain ya, kalau pengarang yang membuat laporan…!” kata Pak Jakob sambil manggut-manggut dan tersenyum ceria.

Berkat kedua liputan jurnalistik itulah, antara lain, saya yakin, mengapa suatu hari, bos besar Kompas-Gramedia, Pak Jakob Oetama (27 September 1931 - 9 September 2020), meminta saya untuk memimpin Majalah Jakarta-Jakarta, yang sudah berhenti terbit, dan mengubahnya menjadi majalah bergambar seperti majalah mingguan Focus, yang ketika itu tengah laris dan meledak di Jepang. Saya pun menyanggupi dengan menyatakan akan menjadikan Jakarta-Jakarta sebagai majalah berita bergambar, perpaduan Focus Jepang dan majalah Paris Match, Perancis, ditambah dengan pelbagai rubrik lain yang akan saya ciptakan nanti.

Untuk menyiapkan segala sesuatunya, saya pun memohon izin khusus kepada Pak Jakob, dan penanggungjawab sehari-hari Kompas, Pak Polycarpus Swantoro (26 Januari 1932 - 11 Agustus 2019). Saya minta izin untuk mengambil cuti dari Harian Kompas, mulai Oktober 1984, sampai dengan majalah Jakarta-Jakarta terbit, yang ditargetkan untuk 1985. 

“Sesudah majalah terbit, baru saya akan mengajukan pengunduran diri resmi dari Harian Kompas,” kata saya. 

Pak Jakob setuju. “Tapi, untuk sementara, keep quiet dulu tentang proyek ini ya, Bung…! Yang pasti, saya akan berikan anggaran tanpa batas,” kata Pak Jakob serius.

Saya mengangguk dan tersenyum penuh semangat. Lalu saya segera menghadap Pak Swan untuk menyampaikan ihwal penugasan dari Pak Jakob itu. Dan, Pak Swan tentu saja sudah tahu akan rencana itu.

“Bila saya gagal atau berhasil di Jakarta-Jakarta, izinkan saya untuk tidak akan pernah kembali lagi ke Kompas,” kata saya kepada Pak Swantoro.

“Wah, kenapa begitu, Mas? Coba saja dulu. Kalau pun gagal, you kan masih bisa kembali ke Kompas nanti, setiap waktu,” kata Pak Swan.

“Iya, Pak Swan. Tapi itu sudah tekad saya. Bila saya menyanggupi untuk menerima tugas baru dari Pak Jakob untuk membangun majalah Jakarta-Jakarta, saya tidak akan pernah mau kembali lagi ke Kompas. Apalagi kalau saya dianggap gagal, dan menjadi pecundang…!” kata saya sok tahu dan sok mantap.

“Ya, sudah. Terserah you saya. Saya percaya you pasti berhasil. Dan, Mas Jakob juga akan mempertaruhkan segalanya untuk proyek Jakarta-Jakarta ini. Selamat bertugas!” kata Pak Swan seraya menyalami saya sambil tertawa lepas. Seperti kebiasaannya.

Radhar di samping Rayni Massardi, dalam acara bedah buku novel "Pembunuh"karya Rayni, 17 Mei 2006. [Facebook/Noorca Massardi]


Ketika menyiapkan Majalah Berita Bergambar Jakarta-Jakarta selama enam bulan itulah, saya kembali teringat kepada Reza Morta Vileni alias Radhar Panca Dahana. (BERSAMBUNG)

SUMBER: https://www.facebook.com/noorca/posts/10225485715677953. Dimuat ulang atas izin penulisnya.

Bagikan:

Posting Komentar