Advertisement With Us

Radhar Bagian 4


R A D H A R
(Jakarta, 26 Maret 1965 - Jakarta, 22 April 2021)
Bagian 4
Pertama kali membuat dan mengelola majalah, saya alami pada awal 1973, ketika para pegiat di GRJS Bulungan sepakat menerbitkan majalah remaja "Sirkuit" sebagai wadah in house kegiatan GRJS Bulungan. Dibiayai dengan anggaran GRJS, tercatat sebagai Tim Redaksi adalah Tjok Hendro sebagai pemimpin redaksi, dan sidang redaksi Noorca M. Massardi, Dharnoto, Adri Darmadji, Uki Bayu Sejati, Yudhi SA. Dan, Yudhistira ANM Massardi ikut bergabung setelah hijrah dari Jogjakarta pada awal 1973, selulus dari Taman Madya (SMA).
Majalah itu dirancang sederhana dengan font American Typewriter, dan dicetak offset oleh Tjok Hendro (alm). Majalah yang dicetak terbatas itu, sampul perdananya dibuat oleh pelukis Grafis Wendy Barry (abangnya sutradara Enison Sinaro). Isinya prosa dan puisi serta berita dan artikel. Di majalah itu pula untuk pertama kalinya saya membuat cerita bersambung berjudul “Cassandra Arabella.”
Selain itu, kami juga kemudian membuat majalah khusus sastra stensilan berjudul "80", untuk menandai angkatan kami, yakni Angkatan 1980-an, dan dikelola secara bersama sederajat dan disusun alfabetis: Adri Darmadji, B. Priyono, Dharnoto, Handrawan Nadesul, Noorca Marendra, Noorhasim, Syarifuddin A.CH, dan Yudhistira Ardi Noegraha.
Majalah kedua yang saya terlibat di dalamnya adalah Majalah “LeLaki” yang dipimpin dan diterbitkan Teguh Esha, yang saat itu sudah terkenal dengan novelnya “Ali Topan Anak Jalanan” yang kemudian dibikin film dengen aktor utama Junaedy Salat. Sebelum membuat “LeLaki” Teguh Esha sudah bekerja di majalah “Sonata” yang dikelola bersama saudara-saudaranya. Sebuah majalah hiburan dan gossip yang juga terkenal saat itu.
Saya dan Yudhis tiba-tiba saja diminta menjadi redaktur “LeLaki” oleh Teguh Esha, yang belum kami kenal secara pribadi, dan dia khusus datang ke Bulungan untuk menemui kami berdua, tanpa memberi kabar sebelumnya. Kami tentu saja sangat terkejut, Karena, itulah untuk pertama kalinya kami mendapat tawaran pekerjaan tetap. Apalagi kemudian kami dijanjikan gaji lumayan besar waktu itu, untuk sebuah majalah bulanan. Kalau tak salah, Teguh menawarkan gaji Rp 75.000/bulan dengah kurs dollar saat itu @ Rp 415. Saya dan Yudhis pun sepakat.
Kelahiran majalah “LeLaki” itu memang sengaja dibuat untuk menyaingi majalah “Maskulin” yang sudah lebih dulu terbit dan laku. Namun, berbeda dengan “Maskulin” selain berisi hiburan untuk pria dewasa, Teguh Esha sebagai pemimpin redaksi menginginkan majalah “LeLaki” memiliki sentuhan kebudayaan, yang katanya akan terwakili bila kami berdua ikut di dalamnya.
"Tidak ada lagi calon yang lebih baik dari kalian berdua, saat ini," kata Teguh berusaha meyakinkan kami. "Dan, sudah sejak lama aku mengamati kiprah kalian, di bidang sastra dan budaya" katanya lagi.
Berkantor di Jalan Indramayu 19, Menteng, Jakarta Pusat, ternyata saya hanya bisa terlibat di majalah itu untuk tiga edisi awal: Januari, Februari, dan Maret 1976. Sebab, pada akhir Maret 1976 itu, saya harus berangkat ke Paris.
Dan, betapa murah hatinya Teguh Esha ketika itu, karena sehari sebelum saya berangkat, Teguh memberikan uang tiga bulan gaji saya di muka. Untuk pertama kalinya pula seumur hidup, saat itu saya mengantungi uang tunai Rp 225 ribu, yang langsung saya tukarkan menjadi USD 540.
Dengan bekal uang tunai itulah, di luar tiket satu kali jalan yang sudah saya beli, saya nekad bertualang sendirian ke Paris, Perancis, untuk “menyambung cinta yang terputus” dengan Rayni, dan sekalian mengadu nasib entah mau jadi apa. Padahal, saya sendiri tidak lançar berbahasa Inggris, ditambah zero dalam bahasa Perancis. Sementara, seumur hidup, saya belum pernah naik pesawat terbang. Ke luar negeri pula!
Majalah ketiga yang saya kelola adalah majalah internal Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis, yang hanya sempat diterbitkan beberapa edisi oleh KBRI Paris. Saya mengelola majalah “Kancah” itu bersama Kemal Surianegara (alm) dan Mira Surianegara bersaudara, serta dibantu musisi Iqbal Tahir, perupa Merwan Yusuf dan beberapa teman lainnya yang tengah kuliah di Paris.
Dengan demikian, Majalah “Jakarta-Jakarta” merupakan majalah keempat yang akan saya kelola. Kali ini tentu harus lebih profesional, karena diterbitkan oleh perusahaan media raksasa Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah “JJ” adalah milik Ibu Budi Lestari dan G. Dwipayana (Dirut PPFN dan Kepala Urusan Media Massa Istana Presiden Soeharto).

Diterbitkan pertama kali, majalah itu berisi agenda dan peristiwa seputar Jakarta. Karena bangkrut, maka SIUPP-nya dikerjasamakan dengan Divisi Majalah Gramedia pimpinan Zus Irawati, yang saat itu sudah menerbitkan majalah Bobo, Hai, dan Tabloid Monitor. Terbit kedua kali di bawah pengelolaan KKG, majalah “JJ” diperluas isinya dengan rubrik tentang perempuan, wisata dan kuliner. Namun majalah itu mengalami nasib yang sama, hingga tak berapa lama kemudian ditutup. Nah, majalah yang dalam kondisi mati suri itulah yang kemudian ingin dihidupkan kembali seperti majalah “Focus,” karena kebetulan Pak Jakob baru pulang dari Jepang, dan meminta saya untuk memimpin perubahan majalah “JJ” itu.
Setelah saya cuti dari Kompas, saya diwarisi seorang staf redaksi perempuan Wicky S, dan satu orang penata desain, yang harus saya ajak kerja bersama. Selama beberapa bulan, saya dan Setianto Ryadi, penata desain, merancang aneka desain, dengan contoh majalah “Focus” dan “Paris Match” serta beberapa majalah lain yang pernah saya bawa dari Paris. Saya juga membuat aneka rubrik dengan fokus utama pada foto spread dua halaman, dengan sedikit teks. Pada bulan ketiga barulah terlihat dummy yang agak meyakinkan, dengan pelbagai rubrik, yang cocok untuk sebuah “Majalah Berita Bergambar” (MBB) yang bukan “Focus” dan bukan pula “Paris Match.” Paduan konsep baru yang belum ada duanya di dunia saat itu, memang bukan seperti majalah berita murni dan karena itu pula, tidak akan menjadi kompetitor langsung Majalah Berita Mingguan “Tempo” yang sudah berjaya.
Pada saat yang sama, saya mencoba menghubungi beberapa orang yang akan saya minta kesediaanya untuk menjadi Redaktur Pelaksana rubrik. Ketika itu saya yakin dan parçaya, kunci keberhasilan sebuah majalah akan sangat ditentukan oleh para redaktur pelaksananya, yang harus sanggup mewujudkan gagasan dan cita-cita saya tentang “MBB” yang belum ada contohnya di dunia.
Pilihan pertama saya, tentu saja jatuh pada saudara kembar saya, Yudhistira ANM Massardi, yang menurut saya, reputasinya tak perlu diragukan lagi, dań dia sudah berpengalaman di majalah “LeLaki” serta ketika itu sudah berhenti bekerja di MBM Tempo. Pilihan kedua adalah Seno Gumira Ajidarma (SGA), lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang sangat paham fotografi, dan film, selain juga sudah terkenal sebagai penyair, pengarang dan penulis esei, serta belum terikat pekerjaan tetap.
Ihwal Yudhis, adik kembar saya itu tak terlalu lama mengambil keputusan, dia menyatakan siap untuk bergabung, karena saat itu Yudhis sudah mengundurkan diri dari MBM Tempo (1979 - 1982) dengan pesangon tiga bulan gaji, dan uangnya dipakai untuk merenovasi rumahnya sendiri tanpa tukang. Ketika dulu masuk ke Tempo, Yudhis menyampaikan keinginnannya untuk "belajar jurnalistik yang benar" kepada Pemred Goenawan Mohammad, di kantor Tempo di Proyek Senen, dan seminggu kemudian ia diterima tanpa syarat.
Yang jadi masalah justru di lingkungan KKG sendiri. Saya sangat paham pada filosofi KKG, yang tidak membolehkan saudara kandung dan atau suami/istri bekerja di bawah satu payung. Kalau antarmedia atau antardivisi masih diperbolehkan. Nah, karena ini akan menjadi kasus khusus, saya pun meminta izin khusus pula kepada Pak Jakob. Saya jelaskan kepada Pak Jakob, bahwa tidak ada orang lain di luaran sana, yang punya kapasitas dan track-record seperti Yudhis. Dan saya yakin, Yudhis akan mampu memback-up saya untuk semua masalah keredaksian, tanpa perlu saya ragukan.
“Saya percaya dan yakin pada kemampuan Bung Yudhis. Tapi karena ini akan menjadi preseden, saya harus konsultasi dulu dengan Zus Irawati dan Mas Swantoro,” kata Pak Jakob. Dan lampu hijau pun diberikan Pak Jakob satu hari kemudian. Alhamdulillah.
Saya lalu menghubungi Seno, dań mengajaknya makan siang di sebuah warung di sebelah rel pintu kereta api Palmerah. Saya lupa bagaimana saya bisa mendapatkan kontak Seno, dan dengan cara apa saya bisa menghubungi “manusia langka yang eksentrik” itu. Pada intinya, Seno siap bergabung. Dari Seno saya kemudian mendapat rekomendasi Desiree Harahap, untuk menjadi Redaktur foto, karena kunci MBB JJ memang pada foto. Desi, yang lulusan IKJ, selain fotografer, juga aktif di industri film terutama dengan kelompok Teguh Karya, dan bersahabat dengan Christine Hakim serta aktor Slamet Rahardjo. Desi pun setuju.
Sudah ada empat pilar utama yang makin meyakinkan saya akan kualitas dan kelangsungan MBB JJ pada masa depan.

Sebagai Redpel cadangan, saya meminta rekomendasi kepada Rayni N. Massardi, yang saat itu tengah bekerja sebagai Fashion Styliste di Majalah “Dewi” dari Femina Group, siapa gerangan yang bisa diajak kerjasama. Rayni pun mengajukan nama Kurniawan Junaedi (KJ), penyair yang tengah bekerja sebagai redaktur di Majalah “Dewi.” Walau saya belum kenal, dań kendati kualifikasi yang saya tuntut tidak seperti Yudhis dań Seno, karena juga belum punya pilihan lain, saya pun setuju, dan meminta Rayni untuk menyampaikan permintaan saya itu. KJ ternyata siap dan setuju.
Selesai urusan Redpel, yang kepada mereka saya minta untuk menunggu panggilan saya berikutnya, sekarang giliran saya harus merekrut pewarta/reporter/penulis/fotografer. Untuk bagian ini, saya meminta Divisi Personalia KKG agar ikut menanganinya sesuai prosedur. Lamaran pun dibuka. Dan dalam tempo sebulan sejumlah pelamar masuk.
Sesuai standar dan kebijakan KKG, untuk seleksi administratif merekalah yang melakukan. Hasilnya kemudian diserahkan kepada saya untuk ditindaklanjuti dengan wawancara. Usai wawancara, lalu saya membikin kuisioner sendiri sebagai bahan test tertulis, khususnya menyangkut pengetahuan umum. Sebelumnya, kepada calon fotografer, saya sudah meminta kepada mereka agar melengkapi surat lamaran dengan portofolio. Yang saya minta secara pribadi untuk ikut melamar adalah sahabat saya, aktor Lisendra, Dharnoto, karena dia pernah belajar Bahasa Perancis di IKIP Rawamangun.
Pada sesi wawancara, saya melakukannya sendiri, didampingi Zus Irawati. Yang lulus test wawancara dan test tertulis, kemudian dilanjutkan dengan psikotes.
Dari ratusan pelamar, akhirnya hanya ada beberapa orang yang saya pilih sebagai reporter dan penulis. Mereka adalah Dharnoto, Djati Surendro, JJ Waskito, Hernowo Sugiri, Sri Pudyastuti, Yoseph Suhirno, dan Theresia Soetamanggala. Belakangan masuk Ricardo Iwan Yatim, serta Rhenald Kasali. Dan, Wicky S. dari JJ lama menjadi Sekretaris Redaksi.
Sementara fotografer yang terpilih adalah Harijanto S., Desiree Harahap, Julian Sihombing dan Dudi Santoso. Belakangan masuk Ray Bachtiar.

Radhar dan Noorca di antara kawan-kawannya. [Facebook/Noorca Massardi]


Akan halnya Yudhis, Seno, dan KJ, atas jaminan saya, tidak dilakukan test. Maka, per 1 Januari 1985, kami pun mulai bekerja menyiapkan dummy MBB JJ, dengan posisi di bawah saya sebagai berikut: Redaktur Pelaksana: Yudhistira ANM Massardi dan Seno Gumira Ajidarma. Redaktur Pengelola: Kurniawan Junaedhie dengan wakil Dharnoto.
Ihwal nama “Jakarta-Jakarta” sendiri, sejak awal saya sudah meminta izin kepada Pak Jakob untuk diperbolehkan mengganti namanya menjadi “Nama & Peristiwa” sesuai rubrik pokok dan tokoh di “Kompas Minggu.” Pak Jakob pun menyerahkan segala urusan kepada saya. Maka, dengan nama MBB “Nama & Peristiwa” itulah sejumlah dummy dibuat, berdasarkan rubrikasi yang saya ciptakan sendiri.
Laporan utama adalah “Gong!” Lalu “Dari Hari ke Hari” (kronik peristiwa sepanjang dua pekan terakhir, karena MBB N&P akan terbit dua mingguan sesuai SIUPP). Lalu “Percikan Permenungan” kolom saya sebagai Pemimpin Redaksi. Kemudian Liputan Khusus. Lalu “Peristiwa” (pilihan peristiwa aktual pada sepekan terakhir). “Reka Mereka” (profil selebriti dengan foto dua halaman spread). “Wanita di Mata Pria” (profil selebriti dalam bentuk puisi khusus hitam putih di center-spread). “Sebagian Kehidupan” (Rubrik wawancara yang diawali dengan foto wajah setengah di halaman awal dań foto setengah lainnya di halaman akhir). “Teraju Buku” (resensi buku baru), "Kotak Pandu" (penilaian redaksi atas setiap buku dengan keterangan mulai dări yang Terbaik sampai yang Terburuk). "Tontonan" (resensi film dan seni pertunjukan terbaru), "Kotak Kritik" (penilaian film mulai dări yang Terbaik hingga yang Terburuk dengan tanda bintang). “Bicara Gambar” (pilihan seri foto terbaik dengan sedikit keterangan). “Debat Gagasan” (Pro-kontra pengamat pilihan tentang suatu kasus/gagasan). "Jentera Lepas" (tokoh berprestasi dengan ciri khas berfoto dengan kursi roda hitam), “Dokumen” (petikan satu bab dari buku yang akan terbit). Dan lain-lain. Khusus untuk semua peristiwa, harus dituliskan secara kronologis per jam, tanggal, hari, dan tahun, bahkan dilengkapi dengan weton: pon, pahing, wage, kliwon dan seterusnya.
Dan, Radhar alias Reza? Selama persiapan majalah itu, saya sempat memanggil anak muda itu untuk datang ke kantor di Palmerah Selatan, tak jauh dari kantor KKG, di samping pompa bensin. Radhar Panca Dahana — demikianlah akhirnya nama Reza Morta Vileni digantikan dengan nama aslinya — mengabarkan bahwa dia sudah lulus SMA dengan nilai seadanya, karena jarang masuk sekolah, dan kemudian diterima sebagai mahasiswa FISIP Universitas Indonesia.
“Kamu mau dan bisa bantu majalah baruku ini?” kata saya.
“Mau banget, Mas. Apa syaratnya?”
“Kamu tidak perlu ikut test karena memang tidak bisa, sebab kamu belum S1. Tapi, aku sudah bicarakan dengan teman-teman Redpel, kamu aku angkat khusus untuk menangani rubrik Teraju Buku, Debat Gagasan, dan Dokumen. Kamu pun tidak perlu masuk setiap hari. Yang penting, deadline wajib ditepati. Mau? Bisa?”
“Siap, Mas. Terus, buku-bukunya dari mana? Siapa yang mencari?”
“Aku akan usahakan untuk kerjasama dengan penerbit, kalau mereka mau bukunya diresensi. Tapi aku lebih setuju kalau bukunya kita beli sendiri, sehingga bisa lebih obyektif dan tidak terpengaruh oleh kebaikan penerbit. Kecuali untuk rubrik Dokumen harus melalui penerbit.”
“Caranya bagaimana?”
“Kamu pilih buku apa saja, terserah seleramu, fiksi dan nonfiksi, yang menurut kamu bagus dan layak ditulis, lalu catat dań sebutkan berapa harganya, nanti Redaksi yang akan membelinya. Atau kamu yang membeli dulu, lalu nanti akan kami ganti.”
“Baik, Mas. Mulai kapan?”
“Kamu bisanya mulai kapan? Hari ini juga boleh. Itu meja dan mesin ketik sudah aku siapkan untuk kamu. Honornya akan langsung dibayar setelah naskah diterima. Baik sebagai dummy maupun nanti sesudah terbit resmi. Tapi kalau kamu perlu uang lebih dulu, aku bisa talangin pakai uang pribadiku. Setuju?”
“Baik, Mas. Terima kasih sebelumnya,” kata Reza eh Radhar.
“Tapi aku punya satu syarat lagi,” kata saya.
“Banyak banget syaratnya, Mas. Apa lagi?” kata Radhar sambil ketawa dan tersenyum pahit.
“Untuk saat ini, sampai menjelang majalah terbit, kamu bebas menulis. Tapi kalau majalah sudah terbit rutin, kamu baru boleh terus menulis kalau kamu lulus S1. Kalau kamu banyak membolos dan enggak lulus, rubrik buku ini aku ambil alih dan akan aku serahkan ke anggota redaksi yang lain.”
“Baik Mas. Siap,” kata Radhar tanpa merasa terbebani.
Begitulah, Radhar pun terlibat di dalam rapat-rapat redaksi hingga MBB "Nama & Peristiwa" siap terbit pertengah Mei 1985. Teaser-teaser promosi setiap hari pun sudah dimuat di Harian Kompas dengan memperkenalkan simbol “&” lalu “N” lalu “P” lalu “N&P” dan terakhir "Nama & Peristiwa".


Edisi perdana Majalah Nama & Peristiwa, 1985. [Facebook/Noorca Massardi]


Namun, satu pekan sebelum majalah resmi diluncurkan, tiba-tiba saya mendapat telepon dari Pak Jakob.
“Bung Noorca, saya mau menyampaikan kabar buruk. “Nama & Peristiwa” tidak boleh terbit. Larangan itu disampaikan langsung kepada saya oleh Direktur Jenderal Perusahaan Pers & Grafika Departemen Penerangan…!” kata Pak Jakob.
Dirjen PPG adalah pejabat yang sangat berkuasa atas hidup matinya perusahaan penerbitan pers di Indonesia, mewakili Menteri Penerangan Harmoko, yang untuk setiap keputusannya harus selalu “meminta petunjuk dari Bapak Presiden.”
Duarrrrrr! Kabar sore hari itu datang bagaikan halilintar. Dan, seketika itu juga, air mata saya mengalir tak terbendung. Saya tidak bisa menahan emosi yang tiba-tiba menyesakkan rongga dada. Lalu saya segera beranjak ke teras kantor, dan duduk menyendiri. Menarik napas panjang. Mencoba menenangkan diri.
Bagaimana saya harus mengabarkan peristiwa ini kepada seluruh jajaran redaksi? Bagaimana nasib kami selanjutnya? Apakah ini akhir dari cita-cita dan kerja keras kami selama enam bulan terakhir?(BERSAMBUNG) - 280421

SUMBER: https://www.facebook.com/noorca/posts/10225491243896155. Pemuatan ulang atas izin penulisnya.

Bagikan:

Posting Komentar